Tulisan saya kutip dari Pak Darmato, karena saking terkesan sengaja saya posting di blog ini..supaya temen-temen bisa membaca. Jarang sekali tulisan-tulisan yang kayak gini, inspiratif dan ide-idenya tentang kemajuan negara dan bangsa.
Kebangkitan
Nasional adalah Kebangkitan Desa
(Melalui Pemberdayaan Masyarakat
untuk Kemandirian dan menempatkan pembangunan desa sebagai usaha Nation &
Character Building)
Apakah kondisi desa sekarang ini akibat dari
penjajahan oleh kaum munafik
sekaligus opportunis yang juga dari kalangan
bangsa sendiri?,
atau korban salah sistem yang melahirkan pembangunan yang salah arah ?.
Masihkah bangsa ini punya
kaum pendidik-intelektual yang berhati nurani?,
atau kemana sajakah mereka
sejak 17 Agustus 1945 sampai sekarang ?,
jangan-jangan justru telah mendidik bangsa
meninggalkan jatidirinya ?.
Alkisah
seekor kodok berada didalam panci yang berisi air dingin yang secara perlahan
dipanasi. Alhasil karena terlena oleh kenikmatan hangatnya air, sehingga ketika
air berangsur berubah semakin panas, sang kodok sudah tidak punya tenaga untuk
meloncat keluar dari malapetaka dan terpaksa mati terebus didalam air mendidih.
Makna
dari cerita tersebut adalah: bahwa kenikmatan dapat membikin seseorang terlena
dan tidak sigap mengantisipasi datangnya bencana.
Desa
di Indonesia sekarang ini pantas dikenal sebagai bagian NKRI yang belum
”Merdeka”, meskipun 17 Agustus 1945 sudah menjadi masa lalu, mengapa ?. Hal ini
akibat dari salah kebijakan didalam konsep pembangunan nasional, yang
penanganan terhadap desanya mengandalkan konsep ”kedermawaan” atau “charity”
atau model sinterklas.
Sementara
ini desa masih identik dengan kebodohan, kemelaratan yang bermuara pada
penderitaan ”Never Ending” bagi masyarakatnya. Sebetulnya desa merupakan
sumber potensi, sumber inspirasi dan sumber spirit pembangunan, sehingga tidak salah sekiranya desa ditempatkan sebagai Pondasi (sebagai
bottom structure) berdirinya bangunan NKRI.
Keberpihakan pembangunan dirasakan masih lebih condong ke kota (sebagai
upper structure), nyaris justru semakin meningkatkan kesenjangan sosial yang
dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas negara.
Urbanisasi
adalah bukti konkrit terjadinya kesenjangan antara desa-kota, yang
dikhawatirkan akan berkembang menjadi sumber masalah pembangunan, bahkan
eksistensi negara. Kebijakan yang tepat sangat diperlukan dengan
menempatkan keseimbangan pembangunan desa-kota sebagai orientasi
pembangunan tidak saja oleh pihak pemerintah namun juga para pemodalnya.
Dengan demikian
kebangkitan desa merupakan kebangkitan kaum teraniaya, terlupakan dan terpinggirkan. Namun sebetulnya karena banyaknya, justru harus diakui sebagai
Pemilik Negara, yang sejujurnya belum “merdeka”, masih dijajah kaum
opportunis, berkedok nasionalis dan berlagak demokratis.
Opportunisasinya
melalui rekayasa pengetahuan sedemikian terjadi pembenaran “mindset” atas
ketentuan/peraturan untuk melegitimasi sistem eksploitasi “orang pintar”
terhadap “orang bodoh”, ”orang kaya” terhadap ”orang miskin”, yang kuat terhadap
yang lemah, eksploitasi kota atas desa.
Apakah
Desa masa kini sedang kena hukuman seumur hidup? Kesalahannya apa?, apa karena
bodoh?, apa karena dibutuhkan oleh orang-2 kota agar dapat melanggengkan kemakmurannya?, atau memang dibiarkan
terpenjara oleh ”sistem korup” (produk kebijakan kolonial). Bagaimana mungkin
orang kota yang faktanya lebih makmur
justru mendapatkan subsidi
jauh lebih besar dari orang desa. Contoh pada penyediaan air
minum, infrastruktur, fasilitas pelayanan publik, bahkan itupun masih dibantu dengan peraturan untuk melindungi berlangsungnya sistem
eksploitasi kepentingan orang kota terhadap desa.
Senyatanya telah terjadi proses kanibalis, yang membikin keberadaan NKRI
tersandera oleh sistem yang diciptakan para pemimpinnya yang anasionalis, sehingga berakibat terjadinya kesalahan
kebijakan pembangunan desa . Hal ini dikhawatirkan akan menjadi
pendorong terjadinya pembusukan semangat untuk maju yang akhirnya menjadikan
pembangunan gagal total hanya menghasilkan manusia bodoh sekaligus miskin tanpa
keberanian berkreasi. Sebagai bentuk
ketidak adilan hal tersebut akan sangat membahayakan kelestarian keberadaan
NKRI.
E dayohe teko, e jerengno
kloso, e klasane bedah, e tambalen jadah, e jadahe mambu,
e pakakno asu, e asune mati,
e kelekno kali, e kaline asat, e e e terus,
sampai melupakan persoalan
pokoknya.
Ungkapan tersebut diatas adalah suatu sindiran dari orang bijak dalam
mengamati kebiasaan para pemimpin
bangsa ketika menghadapi
kegagalan penanganan masalah melalui pengalihan fokus perhatian.
Didalam pemberdayaan masyarakat desa, pilihan profesi yang tepat dengan bantuan sistem
pemasaran dengan business plan yang realistis dan berbasis “Community
Development” kurang dikedepankan. Kehadiran program bantuan dengan niatan untuk
memajukan desa masih bernuansa proyek dan menempatkan ukuran keberhasilannya
dengan indikator tujuan proyek dan demi ataupun atas nama tertib administrasi.
Manfaat atau outcome dari proyek justru kurang menjadi kepedulian.
Suatu bangsa dan negara dalam bahaya menghadapi
kebangkrutan, ketika terbelah menjadi kota dan desa,
kaya dan miskin, merdeka dan terjajah, maju dan terbelakang, yang kesemuanya mencerminkan
adanya ketidakadilan, produk dari ketidak mampuan para pemimpin dan pemikirnya
mengurus pendidikan kharakter bagi bangsanya.
Dibelahan mana Perguruan
Tinggi Panutan berada ?, jangan jangan justru masih menjadi bagian dari masalah
nasional ?!.
Masih adakah keberanian dan
kejujuran kita ?, masih pedulikah kita pada generas penerus
kita?, silahkan merenung dan tunggulah hasil penilaian kinerja kita
oleh generasi penerus kita. Mudah mudahan mereka tidak menilai kita sebagai
generasi parasit bangsa, atau generasi tanpa guna, yang
tidak mampu membangun kharakter bangsanya sendiri. Apakah
kita akan menjadikan generasi penerus sekedar hanya sebagai bangsa penunggu
tanah airnya sendiri yang telah “dimiliki” oleh bangsa lain ?.
Dibutuhkan keberanian berkata
jujur dalam menjawab pertanyaan-2 tersebut diatas.
Lereng
Merapi, 14Juli 2012
Darmanto
Pecinta
Tanah Air
Bapak Darmanto
halo mang,,, piye kabare??
ReplyDeleteapek sru. pie kabare rika
Delete