Kelangkaan dan Privatisasi Air

Masih sedikit di antara kita yang menyadari bahwa air bersih telah menjadi barang langka yang akan semakin diperebutkan di masa datang. Isu kelangkaan air ini bukanlah isapan jempol semata. Sejumlah data telah menunjukkan bahwa saat ini sebagian masyarakat dunia telah mengalami kekurangan air bersih. Lebih dari 600 juta orang di Asia Pasifik tidak memiliki akses terhadap air bersih, yang mana 400 juta diantaranya berada di Afrika dan 200 juta sisanya ada di Amerika Latin (Gleick 1998). Di pihak lain, laporan PBB menyatakan bahwa sekitar 1,3 milyar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan 2,5 milyar memiliki sistem sanitasi yang buruk atau tidak memadai.

Dari 31 negara di dunia yang mengalami krisis air, beberapa diantaranya adalah negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Data IDRC (International Development Research Centre) menyebutkan bahwa ketersediaan air di kedua wilayah ini turun drastis dari rata-rata 3.300 meter kubik per orang per tahun (m3/p/y) pada tahun 1960 menjadi 1.250 m3/p/y pada tahun 1996. Bahkan diperkirakan nilai ketersediaan air ini akan turun menjadi 725 m3/p/y pada tahun 2025.

Untuk beberapa negara, ketersediaannya bahkan telah berada di bawah 500 m3/p/y, seperti Jordania, Tunisia, dan Yaman, yang ketersediaan airnya berturut–turut adalah sebesar 327, 540, and 445 m3/p/y. Menurut perkiraan Bank Dunia, nilai ini akan semakin kecil lagi pada tahun 2025. Kondisi ini menggambarkan terjadinya kelangkaan air, karena saat ini benchmark yang digunakan untuk melihat terjadinya kelangkaan air adalah 1.000 (m3/p/y). Ketersediaan air di bawah nilai ini dianggap merupakan suatu kondisi kelangkaan.

Penyebab Kelangkaan

Pertumbuhan penduduk dunia yang melaju cepat, merupakan salah satu penyebab munculnya kelangkaan air. Kondisi ini diperburuk dengan semakin banyaknya pencemaran dan juga aktifitas industri yang semakin meningkat. Dalam suatu laporan, dijelaskan bahwa sebagian besar aliran-aliran air dunia kini memiliki masalah pencemaran industri beracun yang parah. Menurut United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) (dalam Barlow 2003), pada tahun 2025 diperkirakan aktifitas industri sangat mungkin mengkonsumsi air dua kali lebih banyak dibandingkan saat ini, dan pencemaran air diprediksi akan meningkat empat kali lipatnya.
Sementara itu, upaya penyediaan air bersih sangat minim. Berdasarkan laporan PBB, dana yang dialokasikan untuk penyediaan air bersih dan sanitasi bagi populasi di seluruh dunia jumlahnya hanya sebesar 9 miliar dolar AS, masih kurang 2 milliar dollar dari 11 miliar dolar AS yang dihabiskan penduduk eropa untuk es krim setiap tahunnya.

Isu kesenjangan pun membuat masalah air menjadi semakin rumit, terutama jika dilihat dari kesenjangan tingkat konsumsi air antara negara-negara Utara dan Selatan. Ricardo Petrella (dalam Barlow 2003), seorang pakar di bidang air, menyebutkan bahwa seorang bayi yang baru lahir di Barat, atau seorang bayi kaya di Utara, mengkonsumsi air 40 hingga 70 kali lebih banyak daripada rata-rata konsumsi air bagi seorang bayi di negeri Selatan yang tidak memiliki akses pelayanan air bersih.

Perdagangan Air: Distribusi yang lebih adil atau Eksploitasi?

Di tengah kelangkaan air bersih yang melanda, dunia pun semakin marak dengan bisnis baru yaitu perdagangan air. Dalam suatu liputan khusus mengenai industri air global pada bulan Mei 2000, majalah Fortune memprediksikan bahwa di abad ke-21, air akan menjadi komoditas yang diperebutkan sebagaimana minyak pada abad ke-20. Air pun tentunya akan menjadi komoditas berharga yang menentukan kekayaan suatu negara.

Prediksi ini tidak mengejutkan, karena bisnis penyediaan air bersih bagi seluruh penduduk dunia saat ini diperkirakan bernilai 400 miliar dolar AS setiap tahunnya. Menurut majalah yang sama, penghasilan tahunan industri air telah mencapai kira-kira 40% dari penghasilan di sektor minyak , atau sepertiga lebih besar dari sektor farmasi.

Suatu analisis luar biasa mengenai air dibuat oleh Bank Dunia pada tahun 1998. Disebutkan bahwa perdagangan air global akan bernilai 800 miliar dolar AS per tahun, dan pada tahun 2001 proyeksi ini naik menjadi 1 triliun dollar AS. Pertumbuhan fenomenal tersebut disebabkan karena sampai dengan saat ini baru 5% penduduk dunia yang telah dilayani oleh perusahaan penyedia air swasta. Sehingga potensi pertumbuhan pasarnya pun diperkirakan sangatlah substansial.

Dengan kecepatan pertumbuhan sebagaimana disebutkan di atas, bisnis air diperkirakan akan menjadi industri yang bernilai multi-triliun dolar AS di masa depan. Selain itu, pusat kendali pada industri air global nantinya akan dipegang oleh perusahaan-perusahaan multinasional, melalui skema-skema privatisasi air di berbagai negara yang kaya sumber air. Menurut Louis (1998), perusahaan-perusahaan multinasional merupakan aktor internasional baru yang memainkan peran besar dalam hubungan antar negara, terlebih di era globalisasi.

Berkembangnya privatisasi air, semakin dimungkinkan karena disebutkan sebagai salah satu solusi pada World Water Forum di Kyoto pada tahun 2003. Direktur Jenderal UNESCO, Koichiro Matsuura, juga sempat mengungkapkan bahwa pengelolaan sumber daya air sebaiknya dilakukan oleh pihak swasta, dengan argumen bahwa negara gagal dalam melakukan pengelolaan air secara efisien.

Analisis yang dilakukan oleh Centre for Internacional Relation Studies Universitas Indonesia menilai bahwa manajemen air yang melibatkan peran swasta tidak lepas dari ideologi neoliberalisme dalam konteks globalisasi. Dengan semakin menurunnya peran pemerintah akibat kemajuan teknologi informasi dan menguatnya gerakan masyarakat sipil, perusahaan multinasional pun tampil sebagai salah satu unit pengatur dalam hubungan internasional. Bahkan privatisasi air semakin mendapat legitimasi ketika Bank Dunia menekankan privatisasi menjadi salah satu isu yang penting dalam skema pengucuran dana-dana pembangunan ke negara-negara berkembang.

Fenomena krisis air, dengan permintaan atas pelayanan air bersih yang semakin meningkat di berbagai negara, membuat para pemegang strategi investasi menargetkan industri air global sebagai “pilihan bisnis terbaik untuk abad mendatang”. Dalam analisis bulanannya, Global Water Intelligence, menyebutkan bahwa di beberapa tempat di dunia, air memiliki harga yang sama dengan satu barel minyak. Potensi yang didasarkan atas fakta dan prediksi ini akan semakin mendorong terjadinya gelombang privatisasi air besar-besaran di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia, jasa pelayanan air yang merupakan pelayanan publik dan disediakan oleh pemerintah kota, kini mulai diambil alih oleh perusahaan-perusahaan swasta, bahkan swasta asing. Sebut saja PT. PAM JAYA yang sebagian sahamnya kini telah dikuasai oleh salah satu raksasa industri air dunia, Thames.

Privatisasi air yang semakin meluas merupakan sebuah keniscayaan bagi masa depan dunia yang tidak adil dan tidak berkelanjutan. Air, yang pada dasarnya merupakan salah satu hak rakyat yang harus dipenuhi negara, kini tidak lagi bebas penggunaannya. Dengan privatisasi, air telah menjadi sebuah komoditas yang hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang mampu membeli. Mereka yang tidak mampu akan tersingkir, dan dipastikan tidak akan mendapatkan akses air. Keniscayaan inilah yang akan terjadi dan harus diwaspadai dalam beberapa tahun mendatang.

Source : http://www.isei.or.id/page.php?id=5apr082

0 komentar:

Post a Comment