Permasalahan Penerapan Teknologi Hemat Air

Teknologi hemat air.........

Perkembangan teknologi dan pengetahuan hemat air dalam system irigasi mengalami perkembangan yang significan. Banyak penemuan metode-metode pengairan air irigasi dengan prinsip sedikit air menghasilkan panen yang melimpah, atau menggunakan air irigasi dengan seoptimal mungkin namun harapan hasil panen yang melimpah. Rekayasa dan penelitian banyak dilakukan oleh ahli sumberdaya air, ahli pertanian di berbagai Negara. Khususnya negara –negara yang mayoritas penduduknya konsumsi beras sebagai bahan pokok.
Sebagai contoh teknologi hemat air yang baru berkembang dan diapdosi oleh banyak negara seperti metode SRI, metode SAW dan metode SWD dll. Metode SRI ( System Rice Intensification) adalah metode pemberian air pada padi secara mancak-mancak dengan periode pemberian air secara tertentu. Metode ini dapat menghemat air sekitar 30% dari kebutuhan air konvensional. Dengan kenaikan hasil panen padi sampai diatas 10 ton/hektar. Di banyak propinsi Indonesia, metode SRI telah di uji coba. Seperti di NTT dilakukan oleh kerjasama Indonesia dengan Jepang. Di Jawa Barat juga di uji coba metode SRI. Dan hasilnya memang terjadi peningkatan produktivitas panen padi. Begitu juga dengan metode – metode yang lainnya yang masih di kembangkan lagi.

Pertanyaan saya : Apakah metode-metode tersebut dapat dilakukan secara masal oleh petani kita….
Jawab saya : iets… tunggu dulu.. he he he kayak opo wae cak cak…


Terbukti bisa digunakan, namun kendalanya cukup banyak. Selain dari factor teknis, seperti membutuhkan infrastruktur yang baik  seperti kondisi saluran irigasi yang baik, bangunan irigasi yang baik pula. Bangunan pengatur debit air yang berfungsi dengan baik pula untuk mengatur pemberian air sesuai dengan jadwalnya.
Namun semua itu ada factor kendala yang dominan yaitu kondisi sosial kemasyarakatan petani.  Ada ungkapan yang mengatakan bahwa secanggih mobil yang dimiliki, tergantung dengan sopirnya (driver-nya). Ini ungkapan yang cocok untuk kondisi petani di Indonesia. Penerapan teknologi hemat air menurut saya memerlukan kondisi yang ideal. Seperti yang saya sebutkan diatas, namun ketidakedialan penerapan teknologi hemat air disebabkan oleh perilaku petani kita sendiri. Mencoba mencari akar ketidakedialan petani dalam penerapan teknologi hemat air. 


   1. Infrastruktur irigasi tidak kurang memadahi dalam menerapkan teknologi hemat air. Seperti kondisi saluran tersier, Bangunan irigasi (bendung), pintu pengambilan. Sebagian banguna irigasi kita mengalami kerusakan, atau tidak berfungsi dengan baik.
   2. Petani kita sering melakukan pelanggaran untuk mendapat air dengan bebas. Biasanya merusak pintu pengambilan atau menjebol saluran tersier. Aturan sering dilanggar daripada ditaati.
   3. Sering terjadi konflik antara petani bagian hulu maupun bagian hilir. Petani bagian hilir sering kekurangan untuk mendapatkan ketersediaan air irigasi.
   4. Susahnya para petani untuk diajak kerjasama antar petani. Petani kita masih pola pikir individual. Kalau lahan saya dapat air, terserah lahan tetangga dapat dapat atau tidak…. (akibat politik pecah belah/devide et impera)
   5. Partsipasi public untuk mempunyai rasa memiliki masih rendah. Artinya partisipasi dalam pengawasan atau memperbaiki masih rendah. Iuran air irigasi di beberapa wilayah tidak berjalan dengan baik, atau angka partisipasinya rendah.
   6. Rendahnya SDM petani juga sebagai sebab untuk bisa menerima teknologi irigasi yang baru.



Gambar salah satu contoh kondisi irigasi DI Bedegolan

Ternyata perilaku masyarakat petani kita, menjadi penghambat untuk penerapan teknologi hemat air secara massal. ketidaksiapan itu bisa berasal dari perilaku kita yang memang tidak tahu tentang arti perubahan. Semoga ini menjadikan kita lebih bijak dan arif, untuk selalu menerima suatu perubahan yang lebih baik….

Salam perjuangan ……. By Kang munir

0 komentar:

Post a Comment